MASIGNASUKAv101
5602921039014599756

Pengungkapan Diri (Self-DisclosureI)

Pengungkapan Diri (Self-DisclosureI)
Add Comments

Terkadang kita merasa tidak dihargai oleh orang lain dalam berinteraksi, situasi bisa saja menjadi penyebabnya. Dalam kehidupan sehari-hari, kita membutuhkan orang yang mau mendengarkan saat kita sedang berbicara apapun isi dan tujuan dari pembicaraan yang akan kita ungkapkan. Tapi, tidak semua lawan bicara kita bersikap seperti yang kita inginkan. Lalu, siapakah yang salah? Kita yang kurang pandai mengungkapkan keinginan kita ataukah lawan bicara kita yang tidak mempunyai rasa menghargai lawan bicaranya? Nah, untuk menjawab pertanyaan ini aku telah mencari informasi tentang:

Pengungkapan Diri

Dalam suatu interaksi antara individu dengan orang lain, apakah orang lain akan menerima atau menolak, bagaimana mereka ingin orang lain mengetahui tentang mereka akan ditentukan oleh bagaimana individu dalam mengungkapkan dirinya. Pengungkapan diri (self-disclosure) adalah proses menghadirkan diri yang diwujudkan dalam kegiatan membagi perasaan dan informasi dengan orang lain (Wrightsman, 1987).

Menurut Morton (dalam Sears, dkk., 1989) pengungkapan diri merupakan kegiatan membagi perasaan dan informasi yang akrab dengan orang lain. Informasi di dalam pengungkapan diri ini bersifat deskriptif atau evaluatif. Deskniptif artinya individu melukiskan berbagai fakta mengenai diri sendiri yang mungkin belum diketahui oleh pendengar seperti, jenis pekerjaan, alamat dan usia. Sedangkan evaluatif artinya individu mengemukakan pendapat atau perasaan pribadinya seperti tipe orang yang disukai atau hal-hal yang tidak disukai atau dibenci.

Pengungkapan diri ini dapat berupa berbagai topik seperti informasi perilaku, sikap, perasaan, keinginan, motivasi dan ide yang sesuai dan terdapat di dalam diri orang yang bersangkutan. Kedalaman dan pengungkapan diri seseorang tergantung pada situasi dan orang yang diajak untuk berinteraksi. Jika orang yang berinteraksi dengan menyenangkan dan membuat merasa aman serta dapat membangkitkan semangat maka kemungkinan bagi idividu untuk lebih membuka diri amatlah besar. Sebaliknya pada beberapa orang tertentu yang dapat saja menutup diri karena merasa kurang percaya (Devito, 1992).

Dalam proses pengungkapan diri nampaknya individu-individu yang terlibat memiliki kecenderungan mengikuti norma resiprok (timbal balik). Bila seseorang menceritakan sesuatu yang bersifat pribadi, maka akan cenderung memberikan reaksi yang sepadan. Pada umumnya mengharapkan orang lain memperlakukan sama seperti memperlakukan mereka (Raven & Rubin, 1983).

“Seseorang yang mengungkapkan informasi pribadi yang lebih akrab daripada yang kita lakukan akan membuat kita merasa terancam dan kita akan lebih senang mengakhiri hubungan semacam ini. Bila sebaliknya kita yang mengungkapkan diri terlalu akrab dibandingkan orang lain, kita akan merasa bodoh dan tidak aman” (Sears, dkk., 1988).

Kebudayaan juga memiliki pengaruh dalam pengungkapan diri seseorang. Tiap-tiap bangsa dengan corak budaya masing-masing memberikan batas tertentu sampai sejauh mana individu pantas atau tidak pantas mengungkapkan diri. Kurt Lewin (dalam Raven & Rubin, 1983) dari hasil penelitiannya menemukan bahwa orang-orang Amerika nampaknya lebih mudah terbuka daripada orang-orang Jerman, tetapi keterbukaan ini hanya terbatas pada hal-hal permukaan saja dan sangat enggan untuk membuka rahasia yang menyangkut pribadi mereka. Di lain pihak, orang Jerman pada awalnya lebih sulit untuk mengungkapkan diri meskipun untuk hal-hal yang bersifat permukaan, namun jika sudah menaruh kepercayaan, maka mereka tidak enggan untuk membuka rahasia pribadi mereka yang paling dalam.
Tingkatan-tingkatan pengungkapan diri

Dalam proses hubungan interpersonal terdapat tingkatan-tingkatan yang berbeda dalam pengungkapan diri. Menurut Powell (dalam Supratikna, 1995) tingkatan-tingkatan pengungkapan diri dalam komunikasi yaitu:

a. Basa-basi merupakan taraf pengungkapan diri yang paling lemah atau dangkal, walaupun terdapat keterbukaan diantara individu, tetapi tidak terjadi hubungan antar pribadi. Masing-masing individu berkomuniikasi basa-basi sekedar kesopanan.

b. Membicarakan orang lain yang diungkapkan dalam komunikasi hanyalah tentang orang lain atau hal-hal yang diluar dirinya. Walaupun pada tingkat ini isi komunikasi lebih mendalam tetapi pada tingkat ini individu tidak mengungkapkan diri.

c. Menyatakan gagasan atau pendapat sudah mulai dijalin hubungan yang erat. Individu mulai mengungkapkan dirinya kepada individu lain.

d. Perasaan: setiap individu dapat memiliki gagasan atau pendapat yang sama tetapi perasaan atau emosi yang menyertai gagasan atau pendapat setiap individu dapat berbeda-beda. Setiap hubungan yang menginginkan pertemuan antar pribadi yang sungguh-sungguh, haruslah didasarkan atas hubungan yang jujur, terbuka dan menyarankan perasaan-perasaan yang mendalam.

e. Hubungan puncak: pengungkapan diri telah dilakukan secara mendalam, individu yang menjalin hubungan antar pribadi dapat menghayati perasaan yang dialami individu lainnya. Segala persahabatan yang mendalam dan sejati haruslah berdasarkan pada pengungkapan diri dan kejujuran yang mutlak.

Sementara Alman dan Taylor mengemukakan suatu model perkembangan hubungan dengan pengungkapan diri sebagai media utamanya. Proses untuk mencapai keakraban hubungan antar pribadi disebut dengan istilah penetrasi sosial . Penetrasi sosial ini terjadi dalam dua dimensi utama yaitu keluasan dan kedalaman. Dimensi keluasan yaitu dimana seseorang dapat berkomunikasi dengan siapa saja baik orang asing atau dengan teman dekat. Sedangkan dimensi kedalaman dimana seseorang berkomunikasi dengan orang dekat, yang diawali dan perkembangan hubungan yang dangkal sampai hubungan yang sangat akrab, atau mengungkapkan hal-hal yang bersifat pribadi tentang dirinya. Pada umumnya ketika berhubungan dengan orang asing pengungkapan diri sedikit mendalam dan rentang sempit (topik pembicaraan sedikit). Sedangkan perkenalan biasa, pengungkapan diri lebih mendalam dan rentang lebih luas. Sementara hubungan dengan teman dekat ditandai adanya pengungkapan diri yang mendalam dan rentangnya terluas (topik pembicaraan semakin banyak) (Sears, dkk. , 1999).
Fungsi pengungkapan diri

Menurut Derlega dan Grzelak (dalam Sears, dkk., 1988) ada lima fungsi pengungkapan diri, yaitu :

a. Ekspresi (expression)
Dalam kehidupan ini kadang-kadang manusia mengalami suatu kekecewaan atau kekesalan, baik itu yang menyangkut pekerjaan ataupun yang lainnya. Untuk membuang semua kekesalan ini biasanya akan merasa senang bila bercerita pada seorang teman yang sudah dipercaya. Dengan pengungkapan diri semacam ini manusia mendapat kesempatan untuk mengekspresikan perasaan kita.

b. Penjernihan diri (self-clarification)
Dengan saling berbagi rasa serta menceritakan perasaan dan masalah yang sedang dihadapi kepada orang lain, manusia berharap agar dapat memperoleh penjelasan dan pemahaman orang lain akan masalah yang dihadapi sehingga pikiran akan menjadi lebih jernih dan dapat melihat duduk persoalannya dengan lebih baik.

c. Keabsahan sosial (sosial validation)
Setelah selesai membicarakan masalah yang sedang dihadapi, biasanya pendengar akan memberikan tanggapan mengenai permasalahan tersebut Sehingga dengan demikian, akan mendapatkan suatu informasi yang bermanfaat tentang kebenaran akan pandangan kita. Kita dapat memperoleh dukungan atau sebaliknya.

d. Kendali sosial (social control)
Seseorang dapat mengemukakan atau menyembunyikan informasi tentang keadaan dirinya yang dimaksudkan untuk mengadakan kontrol sosial, misalnya orang akan mengatakan sesuatu yang dapat menimbulkan kesan baik tentang dirinya.

e. Perkembangan hubungan (relationship development)
Saling berbagi rasa dan informasi tentang diri kita kepada orang lain serta saling mempercayai merupakan saran yang paling penting dalam usaha merintis suatu hubungan sehingga akan semakin meningkatkan derajat keakraban.

Pedoman dalam Pengungkapan Diri
Pengungkapan diri kadang-kadang menimbulkan bahaya, seperti resiko adanya penolakan atau dicemooh orang lain, bahkan dapat menimbulkan kerugian material. Untuk itu, kita harus mempelajari secara cermat konsekuensi-konsekuensinya sebelum memutuskan untuk melakukan pengungkapan diri. Menurut Devito (1992) hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam pengungkapan diri adalah sebagai berikut:

a. Motivasi melakukan pengungkapan diri
Pengungkapan diri haruslah didorong oleh rasa berkepentingan terhadap hubungan dengan orang lain dan diri sendiri. Sebab pengungkapan diri tidak hanya bersangkutan dengan diri kita saja tetapi juga bersangkutan dengan orang lain. Kadang-kadang keterbukaan yang kita ungkapkan dapat saja melukai perasaan orang lain.

b. Kesesuaian dalam pengungkapan diri.
Dalam melakukan pengungkapan diri haruslah disesuaikan dengan keadaan lingkungan. Pengungkapan diri haruslah dilakukan pada waktu dan tempat yang tepat. Misalnya bila kita ingin mengungkapkan sesuatu pada orang lain maka kita haruslah bisa melihat apakah waktu dan tempatnya sudah tepat.

c. Timbal balik dan orang lain.
Selama melakukan pengungkapan diri, berikan lawan bicara kesempatan untuk melakukan pengungkapan dirinya sendiri. Jika lawan bicara kita tidak melakukan pengungkapan diri juga, maka ada kemungkinan bahwa orang, tersebut tidak menyukai keterbukaan yang kita lakukan.

Sumber: www.edwias.com


Gaya Presentasi Diri Self-Monitoring (Pemantauan Diri)
Setiap orang akan berbeda dalam cara mempresentasikan diri mereka. Beberapa orang lebih menyadari tentang kesan publik mereka, beberapa orang mungkin lebih menggunakan persentasi diri yang straregik, sementara yang lain lebih menyukai pembenaran diri (verifikasi diri). Menurut Mark Snyder (1987), perbedaan ini berkaitan dengan suatu ciri sifat kepribadian yang disebut dengan self-monitoring yaitu kecenderungan mengatur perilaku untuk menyesuaikan dengan tuntutan-tuntutaan situasi sosial. Dengan demikian, self-monitoring adalah kecenderungan untuk merubah perilaku dalam merespon terhadap presentasi diri yang dipusatkan pada situasi (Brehm & Kassin, 1993). Atau menurut Worchel, dkk. (2000), self-monitoring adalah menyesuaikan perilaku terhadap norma-norma situasional dan harapan-harapan dari orang lain. Sementara Brigham (1991) menyatakan self-monitoring merupakan proses dimana individu mengadakan pemantauan (memonitor) terhadap pengelolaan kesan yang telah dilakukannya.

Individu yang memiliki se!f-monitoring yang tinggi (high self-monitors) menitikberatkan pada apa yang layak secara sosial dan menaruh perhatian pada bagaimana orang berperilaku dalam setting sosial. Mereka menggunakan informasi ini sebagai pedoman tingkah laku mereka. Perilaku mereka lebih ditentukan oleh kecocokan dengan situasi daripada sikap dan perasaan mereka yang sebenarnya. Mereka cakap dalam merasakan keinginan dan harapan orang lain, terampil atau ahli dalam mempresentasikan beberapa perilaku dalam situasi-situasi berbeda dan dapat merubah cara-cara presentasi diri atau memodifikasi perilaku-perilaku untuk menyesuaikan dengan harapan orang lain. High self-monitors digambarkan sebagai orang yang memiliki “pragmauic self’. Mereka dapat disebut juga sebagai pengelola kesan yang lihai (“skilled impression managers).

Sebaliknya individu yang termasuk rendah dalam pemantauan diri (low self-monitors) cenderung lebih menaruh perhatian pada perasaan mereka sendiri dan kurang menaruh perhatian pada isyarat-isyarat situasi yang dapat menunjukkan apakah perilaku mereka sudah layak. Dalam suatu alat tes yang dinamakan “self-monitoring Scale” yang disusun oleh Mark Snyder dapat diketahui bahwa ternyata orang mempunyai variasi secara luas dalam kesiapan dan kemampuan untuk memantau diri mereka sendiri.

Berdasar hasil penelitian, orang yang mendapat skore tinggi pada skala self-monitoring, akan mendapat keberuntungan dalam situasi sosial, Orang-orang akan menganggap mereka sebagai orang yang ramah dan relaks (Lippa, 1978), tidak pemalu dan lebih siap untuk mengambil inisiatif dalam berbagai situasi (Pilkonis, 1977). Tetapi kemungkinan mereka menjadi kurang dapat dipercaya dan dinilai dangkal (Gergen, 1977). Sehingga diasumsikan bahwa mereka yang berada pada tingkat self-monitoring yang moderat (sedang/di-tengah-tengah) adalah yang secara sosial ideal. Sebab hal ini akan membuat mereka bisa berfungsi secara efektif dalam mempresentasikan diri mereka, tanpa menjadi “bunglon sosial”.Hasil-hasil penelitian yang lain menunjukkan bahwa karena high self-monitors mempersepsi diri sendiri sebagai orang yang berhasil dalam memberi kesan pada orang lain, maka mereka cenderung untuk memiliki harga diri yang lebih tinggi (Sharp & Getz, 1996). Mereka juga trampil secara sosial dalam menguji hipotesis tentang kepribadian orang (Dardenne & Leyens, 1995). Mereka juga lebih banyak mengingar informasi tentang orang-orang lain atau tindakan-tindakan orang lain. High self-monitors lebih menempatkan pada daya tarik fisik daripada kualitas pribadi ketika mereka memiliki pasangan romantis. Sedangkan low self-monitors lebih menekankan kecocokan dalam kepribadian dan minat daripada mencocokkan dengan daya tarik fisik dalam memilih pasangan (Glick. DeMorest, & Hotze, 1988). Akhirnya studi dalam organisasi menunjukkan bahwa individu yang tinggi self-monitoringnya lebih baik daripada yang rendah self-monitoringnya dalam bekerja antar departemen atau antar seksi yang menuntut fleksibilitas dan terbuka dengan keinginan dan harapan orang lain.

Sumber: www.edwias.com
Ayuno

Merintis menjadi blogger. "Menjadi blogger itu bebas asal pantas. Kalau sudah bertekad, siapa pun bisa menjadi blogger papan atas. Bukankah siapapun bisa berkarya tanpa batas? Bukankah siapapun bisa mengasah kemampuan menulisnya agar selangkah demi selangkah dapat menghasilkan karya yang berkualitas? Ya, mungkin dengan giat belajar, konsisten, dan gak sombong, siapapun lama-lama akan punya identitas"